Badak Pamalang
I
TERSEBUTLAH Nu Kasep Munding Sanggawati, putera mahkota Pajajaran hendak belajar mengembara mencari pengalaman agar ia sempurna menjadi raja kelak. Bersama dengan Pamuk Ua Kidang Pananjung, Patih Parawa Kalih, Jaksa Gelap Nyawang, dan isterinya Lenggang Pakuan, ia mengembara ke arah Timur. Ketika tiba di Negara Cirebon Girang yang sangat subur makmur, Munding Sanggawati menemui rajanya, Sunan Ua Eudeum Jaya. Munding Sanggawati ingin meminjam perahu dari Sunan Ua Eudeum Jaya.
"Ua punya perahu empat puluh, tapi sekarang hanya tinggal empat, karena yang lain dipinjam orang tidak dikembalikan," kata Sunan Ua Eudeum Jaya. "Keempat perahu itu punya nama sendiri-sendiri. Masing-masing mempunyai sifat sendiri."
Munding Sanggawati meminjam Si Colat Emas. Lenggang Pakuan dimasukkan ke dalam kandungan Ua Parawa Kalih. Sebelom berangkat Patih Parawa Kalih membakar menyan sambil mendoa. Kemudian mereka naik perahu dan berlayar. Setelah beberapa lama berlayar tibalah mereka di Nusa Bali, yang diperintah oleh Demang Patih Naga Bali. Para ponggawa Nusa Bali adalah Munding Rarangin, Gajah Rarangin dan puteri jelita Nyi Geulang Rarang, Rarang Nimbrang Inten, Bagdaya Panutup Sungging. Demang Patih Naga Bali terkenal gampang marah dan sangat gagah.
Munding Sangrawati diam-diam masuk ke Nusa Bali. Ia berjalan mengikuti tembok sekeliling kerajaan, kemudian mengetuk-ngetuk pintu Elong Kencana tempat para puteri. Ia minta agar dibukakan pintu, yang segera dilakukan oleh puteri jelita. Munding Sanggawati masuk dan segera ditanya oleh sang puteri Lenggang Kencana. Demi mendengar siapa gerangan tamu itu dan melihat kerupawanannya, maka sang puteri pun dengan tangan terbuka mcnerimanya.
Sementara itu, Nyi Geulang Rarang bermimpi tertimpa langit dan pohon beringin runtuh dilanda angin, matahari berkelahi dengan bulan, Bintang Timur tampak di sebelah Selatan. Maka ia pun pergi menemui kakanda Demang Patih Naga Bali untuk menyampaikan impian itu yang mungkin merupakan alamat penting.
"Mungkin ada orang asing yang masuk tak ketahuan," kata Demang Patih Naga Bali. "Baiklah Si Lengser kusuruh meronda ke Elong Kencana tempat para puteri."
Si Lengser dipanggil kemudian diberi titah untuk memeriksa Elong Kencana. Si Lengser berangkat menuju ke tempat para puteri. Tapi ketika sampai di tembok luar, ia ditakut-takuti oleh Ua Parawa Kalih. Maka larilah ia kembali menghadap Demang Patih Naga Bali.
"Entah makhluk apa," katanya gagap, "tapi matanya tampak menyala sebesar-besar kenong dan hidungnya sebesar dapur, kulitnya tampak belang bonteng."
"Periksa lagi!" kata Naga Bali.
"Tidak mau, juragan, tak berani."
"Kalau begitu, aku yang pergi, kau antar aku."
"Kalau hanya mengantar saja, baiklah," kata Si Lengser.
Munding Sanggawati dan Patih Parawa Kalih ditangkap oleh Demang Patih Naga Bali, lalu dimasukkan ke dalam penjara besi.
"Kemalangan ini hanyalah dilantarankan oleh karena kita telah melupakan nasihat orang tua," kata Patih Parawa Kalih.
"Ya," sahut Munding Sanggawati. "Seharusnya kita menemui pribumi baik-baik, minta izin akan menumpang tinggal. Tapi kalau demikian berarti kita mengabdi, Ua, bagaimana mungkin jadi raja yang sempurna kelak. Karena itu biarkanlah yang telah lalu. Sekarang lebih baik kita bertapa, mudah-mudahan ada orang dari Pajajaran datang mengembara ke sini dan menolong kita keluar dari penjara ini.
Maka tersebutlah di Negara Pajajaran, Nu Geulis Aci Malati, tatkala ditinggalkan mengembara oleh kakanda sedang mengidam sebulan. Sesudah sembilan bulan mengandung, maka ia pun merasa akan melahirkan. Ia diperiksa oleh Nu Geulis Sekar Malati dan oleh Prabu Munding Malati.
Setelah jelas akan melahirkan, maka dipanggillah Si Lengser, kemudian disuruh menjemput Nini Paraji.
Bayi yang lahir sangat mulus. Tak ada darah atau air yang keluar bersamanya. Bahkan pusarnya pun tak ada. Sungguh tak ada tanda-tanda bahwa bayi itu akan menemui maut. Ketika sudah tujuh hari usianya si bayi berteriak menembus langit meminta nama. Oleh bundanya bayi itu diberi nama Prabu Kalang Kidang. Tapi la masih tetap menangis, maka oleh Nini Paraji ia pun diberi nama Prabu Anggawaruling. Tapi ia masih tetap menangis. Oleh bundanya diberi nama lagi Prabu Geulang Rarang. Namun ia masih juga menangis. Maka datanglah Prabu. Munding Malati. Diambilnya bayi itu, kemudian disepaknya hingga terlontar ke angkasa.
Dari awang-awang bayi itu kemudian meluncur jatuh, tertahan oleh setangkai kembang cempaka warna di hutan. Maka turunlah nenenda dari Gedung Sanghyang Nunggal, Kahiangan, lalu menimang si jabang akan memberinya nama. Terlebih dahulu nenenda menyanyikan lagu penuh nasehat: "Hitunglah sampai berpuluh, bilanglah sampai berwidak, sewindu itu delapan tahun dan setahun dua belas bulan. Sebulan tiga puluh hari. Hari tujuh, bulan dua belas, dawuh ada lima. Yang lima jadikan empat. Yang empat jadikan tiga. Yang tiga jadikan dua dan yang dua jadikan tunggal. Tunggal pada dirimu. Maka ingatlah akan Yang Tunggal ...." demikian nenenda menyanyi. Kemudian nenenda memberinya nama: "Kuharap kau akan jadi pemberani, menjadi laki-laki langit dan jantan sejagat. Kau sudah terbang ke awang-awang melintas mega malang. Maka akan nenek beri nama Badak Pamalang ...."
Demi mendengar nama yang diberikan nenenda, bayi itu diam. Tangisnya berhenti. Tidur nyenyak ia tergantung pada tangkai kembang cempaka warna itu.
Adapun Demang Patih Naga Bali di Nusa Bali, mempunyai ternak piaraan, yaitu seekor elang tak berbulu. Elang itu ingin bertelur, menghadap kepada tuannya akan meminta tempat untuk sarang. "Tuan, hamba rasanya akan bertelur, maka hamba minta tempat untuk bersarang."
"Pergilah ke hutan belantara. Buatlah sarangmu pada dahan beringin yang menganjur ke sebelah Timur. Itulah dahan pohon yang paling besar di seluruh Nusa Bali. Dahan itu menganjur ke atas kebun bunga," kata Demang Patih Naga Bali.
Maka pergilah elang itu ke tempat yang ditunjukkan tuannya. Di sana ia membuat sarang. Kemudian bertelur. Telurnya hanya sebutir, tapi besar. Waktu telur itu menetas, anaknya sebesar anak kerbau, mengangakan mulut menciap meminta makan. Maka induknya pun pergi menemui tuannya pula.
"Makanlah kucing, anjing, kuda, menjangan, dan ternak lainnya," kata Demang Naga Bali. "Dan kalau itu pun masih kurang, makanlah binatang-binatang hutan seperti banteng atau harimau."
Elang itu melaksanakan perintah tuannya. Waktu anaknya diberi makan ternak, sangat lahap sekali. Tapi ketika semua ternak habis, perutnya belum lagi kenyang. Induknya pergi menangkap binatang-binatang hutan. Habis pula binatang-binatang hutan, namun anaknya belum juga kenyang. Maka pergi pula induk elang itu menghadap kepada Demang Naga Bali.
"Kalau binatang-binatang habis, makanlah apa yang kau dapat makan. Meskipun manusia tak jadi apa, asal jangan penduduk Nusa Bali," kata Demang Naga Bali.
Induk elang terbang ke angkasa. Dari atas mega malang ia memandang ke sekeliling akan mencari makanan. Tak apapun yang tampak, kecuali seorang bayi yang tergantung pada tangkai kembang cempaka warna di hutan wilayah Pajajaran. Maka ia pun turun dari angkasa menuju tempat itu.
Bayi itu segera dipatuknya lalu ditelan. Tapi hawa panas terasa membakar, maka terbanglah induk elang itu ke angkasa. Namun hawa panas tetap membakar. Segera la pulang ke sarang anaknya. Bayi itu dikeluarkannya, lalu disuapkan ke mulut anaknya. Badak Pamalang masuk ke dalam mulut anak elang itu.
Maka tersebut bahwa Badak Pamalang dalam perut elang itu tidaklah mati. Kian hari la kian besar. Sejak itu anak elang itu tidak lagi meminta makan. Kotorannya mengotori kebun kembang raja, sangat busuk dan bau. Sementara itu Badak Pamalang berjalan-jalan dalam ususnya.
Setelah sembilan bulan berada dalam perut anak elang, Badak Pamalang ingin keluar. Tapi kalau keluar dari paruhnya, ia khawatir dipatuk lagi dan kalau keluar dari duburnya, ia tak akan tahan karena bau.
”Ah, karena ingin keluar, biarlah bau busuk kutahankan,” katanya dalam hati.
Sambil keluar dari usus anak elang itu, Badak Pamalang menarik ususnya, sehingga anak elang itu mati. Kemudian ia menarik pula usus induk elang, sehingga mati juga. Maka turunlah ia ke kebun kembang Negara Nusa Bali.
Senang sekali ia memetik kembang warna-warni, sehingga habislah kembang setaman. Tiap hari kembang mekar, tapi setiap hari dipetik habis oleh Badak Pamalang.
Ketika itu puteri Lenggang Kencana mau menengok kebun kembang. Waktu melihat kebun kembang hancur, ia amat marah. Dicarinya orang yang berani merusak kebun bunganya itu. Tapi ketika dilihatnya di sana hanya ada seorang anak kecil, maka dipeluk diciumnya Badak Pamalang, lalu dibawanya ke Elong Kancana. Dibuatkannya ayunan buat anak itu, kemudian ditimangnya dengan penuh sayang.
Pada suatu hari Demang Naga Bali yang sedang berkeliling meronda, mendengar adindanya ramai menyanyi dan berbicara. Maka diketuknya pintu, lalu bertanya:
"Adinda, dengan siapakah adinda bicara?"
"Tak seorang jua," sahut adindanya.
"Tak percaya."
"Tak seorang jua!" sahut adindanya pula sambil mengunci pintu. Demang Naga Bali curiga, ditendangnya pintu sehingga terbuka. Maka dilihatnya tali ayunan dan kemudian ditemukannya anak kecil. Ditelitinya anak itu, tak punya pusar.
”Anak ini bukan anak Nusa Bali, niscaya akan merusak Negara kita kalau sudah besar. Karena itu lebih baik sekarang saja dibunuh, mumpung masih kecil," katanya.
Puteri Lenggang Kencana mencoba mencegah niat itu. Maka diambilnya Badak Pamalang oleh Demang Patih Naga Bali, ditendangnya keras-keras. Tapi anak itu malah tertawa. Lalu disabetkan sekeras-kerasnya pada tunggal besi malela.
"Kurang keras sedikit, Paman," kata anak itu.
Naga Bali kian marah. Dibawanya ke pengempa baja. Anak itu ditekan dari atas bawah, tapi bukannya mati, malah pengempa baja itu yang hancur luluh.
"Kurang keras memijitnya, Paman," katanya.
Naga Bali mengangkat tangan akan menempeleng anak itu. Tempelengnya kesohor sakti. Tapi ketika ia mengangkat tangan akan menempeleng, tiba-tiba terasa lehernya diserang encok sehingga ia tak jadi memukul. Bahkan bukan itu saja, tiba-tiba seluruh tubuhnya nyeri-nyeri karena diserang encok empat puluh ekor.
Maka ia minta ampun kepada Badak Pamalang. “Ampunilah, Anak,” katanya.
"Tidak," sahut Badak Pamalang. "Nanti kalau sudah sembuh, niscaya paman akan memukul lagi."
Maka Naga Bali berseru-seru memanggil Si Lengser. Si Lengser datang, lalu disuruh mengusir encoknya dengan cambuk. Kemudian Naga Bali lari menyembunyikan diri di kolong ranjang, takut dikejar oleh Badak Pamalang.
Badak Pamalang segera mencari ibunda, tetapi di biliknya tak ada. Maka diciptakannya "mustika anjing" yang disuruhnya menyusur jejak ibunda. Ia sendiri berjalan di belakang "mustika anjing" itu. Maka sampailah ia ke sebuah air terjun Cimanderacun. Bunda Lenggang Kancana karena sedih hati kehilangan ananda telah membunuh diri, terjun dari air terjun ke atas batu tajam. Tapi kemudian dengan kesaktian Badak Pamalang, bundanya hidup kembali. Maka mereka pulang lagi ke kaputerian Elong Kencana, hidup dengan tenteram di sana.
"Bunda, alangkah jemu main sendirian," kata Badak Pamalang pada suatu hari. "Berilah hamba kawan bermain."
Ibunda mengeluarkan seekor ayam, Si Kentri Aji Malang Dewa, dari dalam kain tenun keramat. Maka bermain-mainlah keduanya bersama.
"Bunda, kasihlah kami permainan," kata Badak Pamalang. Ibunda memberinya undur-undur besar masing-masing seekor. Keduanya pun asyik menyabung undur-undur. Akhirnya undur-undur Badak Pamalang mati. Karena kecewa, maka undur-undur Si Kentri pun dibunuh oleh Badak Pamalang.
Karena undur-undurnya mati, maka Badak Pamalang mengajak Si Kentri bercakap-cakap. Ayam keramat itu memang pandai bercakap.
"Kentri, kau telah lebih dahulu hidup di Nusa Bali, apa saja yang kau ketahui?" tanya Badak Pamalang.
"Nusa Bali subur makmur loh jinawi," sahutnya.
"Bukan itu yang kutanyakan. Kau lebih dahulu hidup di sini, niscaya ada cerita-crita yang pernah kau dengar."
"Ya, memang," sahut Si Kentri. "Tapi entah benar atau tidak. Konon ada seorang raja yang dihukum dalam penjara besi."
"Marilah kita melihatnya," kata Badak Pamalang.
"Penjara itu sangat kuat. Tak ada lubang untuk masuk ke dalamnya. Sangat kukuh sekali."
"Antarlah aku ke sana, Kentri," kata Badak Pamalang.
"Kalau hanya sekadar mengantar, baiklah," sahut Si Kentri.
Mereka mengelilingi penjara besi itu, tapi tak ada lubang yang dapat dipakai jalan masuk. Akhirnya Si Kentri terbang ke atas atap, diikuti oleh Badak Pamalang. Setelah mencari dengan teliti, tampaklah tiga buah lubang yang sangat kecil. Dari lubang-lubang itu, tahulah Badak Pamalang bahwa di dalamnya masih ada manusia. Maka dihancurkannya penjara itu dengan tangannya yang sakti. Penjara hancur, serpihan-serpihan besi beterbangan ke pasar Nusa Bali.
Para penghuni penjara itu sudah sangat kurus dan tak mampu bergerak lagi. Badak Pamalang pergi bersama Si Kentri akan mencari makanan berupa daun-daunan ke hutan. Tapi waktu ia naik sebatang pohon, dari puncaknya ia melihat ada kakek-kakek dan nenek-nenek yang sedang membuat bakul. Maka pergilah ia ke sana, lalu meminta bakul yang paling besar kepada nenek. Karena mengira anak kecil takkan kuat membawanya, maka kakek dan nenek itu memberinya sebuah. Dengan membawa bakul yang sangat besar itu, pergilah Badak Pamalang bersama Si Kentri ke pasar Nusa Bali. Dimintanya kepada pedagang segala macam makanan, lalu dimasukkannya ke dalam bakul, kemudian dibawanya ke penjara besi. Di sana makanan itu diberikannya kepada para penghuni penjara yang sudah tak berdaya lagi.
"Makanlah, Paman," katanya.
Sementara itu Badak Pamalang teringat akan buah-buahan untuk cuci mulut dan pakaian buat keduanya. Maka ia pun pergi ke jalan akan menghadang orang-orang dari Kuta Genggelang yang sering mempersembahkan buah-buahan kepada raja Nusa Bali. Mula-mula ila pergi ke pasar menghampiri pedagang terasi. Tubuhnya dilulur dengan terasi dan pura-pura borokan, lalu berdiri di jalan yang biasa dilewati tukang buah. Kedua orang tukang buah itu, Suraganggang dan Suragenggeng namanya, merasa sangat kasihan melihat anak borokan meminta buah. Maka diberinya Badak Pamalang rambutan dan manggis. Sebagai tanda terima kasih Badak Pamalang mengatakan ingin membantu memikul buah itu. Suraganggang dan Suragenggeng menyerahkan pikulan kepadanya. Tapi tiap mereka melangkah tujuh langkah Badak Pamalang melangkah ke belakang. Suraganggang dan Suragenggeng tenang berjalan sambil bernyanyi, tak tahu bahwa pikulan buah kian lama kian jauh.
Badak Pamalang kemudian menyerahkan buah-buahan itu kepada kedua orang penghuni penjara yang kebetulan baru selesai makan.
Sambil makan buah-buahan, Badak Pamalang bertanya kepada orang-orang yang baru ditolong itu. "Dari manakah Paman gerangan?" tanya Badak Pamalang.
"Jangan kau dulu bertanya, kami dulu yang ingin bertanya kepadamu, karena tampaknya kau bukan anak asli Nusa Bali. Dari mana kau datang?"
"Dari Pajajaran," sahut Badak Pamalang.
"Siapakah ayah bundamu?"
"Ibunda Aci Malati, ayahanda Prabu Munding Malati," sahutnya.
"Kalau begitu, jangan panggil aku paman. Akulah Nu Kasep Munding Sanggawati, putera mahkota Pajajaran, kanda ayahmu," sahut Munding Sanggawati. "Dan ini Ua Parawa Kalih. Kami bersama-sama dengan Ua Kidang Pananjung, Jaksa Gelap Nyawang dan Lenggang Pakuan, pergi mengembara waktu kau baru dikandung sebulan."
"Kau dengar, Kentri?" kata Badak Pamalang. Agaknya memang orang Pajajaran. Pantaslah aku ingin menolongnya." Kemudian ia berkata: "Sekarang tunggu saja di sini, hamba akan mencarikan pakaian buat kedua uanda. Hamba akan menemui Ki Nakoda."
Mula-mula ia pergi kepada ibunda Lenggang Kencana minta dibuatkan sebuah karung yang sangat besar. Diisinya karung yang luar biasa itu dengan segala macam sampah dan pecahan-pecahan beling seluruh negeri Nusa Bali. Hanya di sudut-sudutnya yang empat ditaruhnya lempengan emas. Kemudian dibawanya karung itu ke pinggir pesisir. Waktu kapal ki Nakoda lewat, kelasinya melihat ada tumpukan barang sebesar bukit.
Waktu diteliti tampak ada seorang anak yang sedang duduk di atasnya. Anak itu mengajak menukar karung itu dengan tuj uh perangkat pakaian kerajaan. Anak itu diterima oleh ki Nakoda. Tapi waktu para kelasi hendak membawanya ke kapal, ternyata mereka tak sanggup mengangkatnya. Maka diangkatlah karung itu oleh Badak Pamalang, lalu dilemparkannya ke kapal, sehingga kapal oleng. Waktu diperiksa ternyata isinya sampah belaka. Pecahan beling dan segala batu yang ada di dalamnya hampir-hampir mematikan para kelasi.
"Kita tertipu! Cari anak itu!" kata seorang.
"Biarlah," kata ki Nakoda. "Barangnya saja hampir mematikan kita, apalagi orangnya." Maka ia pun berteriak kepada si anak di darat: "Pakaian itu kami berikan dengan ikhlas!"
"Terima kasih," sahut Badak Pamalang.
"Wah, dia masih dekat, mari kita cepat-cepat pergi!" kata ki Nakoda kepada para kelasinya. Ia takut Badak Pamalang akan mengejarnya.
Badak Pamalang memberikan pakaian kerajaan itu kepada para uanya. Maka para menak Pajajaran itu pun mengenakan pakaian yang baru.
"Marilah kita menemui ibunda," kata Badak Pamalang.
Maka semuanya pun berangkatlah menuju NegaraNusa Bali. Kidang Pananjung menyirep seluruh isi Negara Nusa Bali, sehingga semua tertidur, dan mereka berjalan dengan aman menuju tempat ibunda.
Kepada ibunda, setelah mereka sampai dan berkenalan. Badak Pamalang meminta doa dan ajian. Juga kepada Pamuk Kidang Pananjung, Jaksa Gelap Nyawang, Patih Parawa Kalih dan Uanda Munding Sanggawati. Setelah mendapat doa dan berbagai jimat dan kesaktian dari para uanda dan ibunda, Badak Pamalang berangkat ke tempat sakti yang menjadi andalan Nusa Bali. Pertama-tama ia pergi ke Kabuyutan Beusi Malela, yang setelah dihancurkannya lantas kesaktiannya masuk ke dalam dirinya. Dari sana la pergi ke Kabuyutan Beusi Kuning yang lebih keramat lagi. Tapi itu pun dapat dihancurkannya. Lalu ke Kabuyutan Tiwuan Gantung, Kabuyutan Ular Laki, Kabuyutan Kancah Malela; semua dapat dihancurkannya dan segala kesaktian yang terdapat di masing-masing keramat itu menjadi miliknya, sehingga ia makin sakti dan digjaya.
Setelah menghancurkan segala keramat itu, ia pun lalu meminta doa kepada ibunda akan memerangi orang Nusa Bali. "Bunda, doakanlah agar hamba berhasil mengganti ratu Nusa Bali." Lalu la mengajak Si Kentri agar mengawaninya berperang.
Munding Rarangin dan Gajah Rarangin ditantangnya. Keduanya merasa terhina ditantang anak kecil, tapi ternyata mereka tak mampu melawan Badak Pamalang. Setelah berkelahi sebentar saja, keduanya mati. Sesudah mengalahkan Munding Rarangin dan Gajah Rarangin, Badak Pamalang menantang Demang Naga Bali. Demang Naga Bali turun melawannya, namun setelah berperang lama sekali dan sama-sama mengeluarkan kesaktian masing-masing, akhirnya ia menyerah.
"Hamba menyatakan takluk," katanya. "Negara Nusa Bali beserta isinya hamba serahkan semua."
Penyerahan itu diteruskan oleh Badak Pamalang kepada Munding Sanggawati, yang menerimanya dengan baik. Munding Rarangin dan Gajah Rarangin pun dihidupkan kembali oleh Badak Pamalang. Keduanya hidup kembali dan bertanya: "Siapakah gerangan yang sudah menghidupkan kembali hamba?"
"Aku," sahut Badak Pamalang. Maka keduanya pun menyatakan menyerah pula.
Para puteri Nusa Bali yang terkenal cantik, diserahkan pula pada Munding Sanggawati yang menerimanya dengan suka hati. Kemudian Badak Pamalang berkata: "Ananda mohon, Uanda akan sudi menjadi raja di sini, sudah waktunya raja di sini diganti."
"Baiklah," kata Munding Sanggawati. "Bukankah bukan orang lain yang telah berjasa mendapatkan semua ini?"
Maka berbahagialah Munding Sanggawati, menak Pajajaran yang bakal menjadi raja teladan, di Nusa Bali, dikelilingi para puteri cantik jelita, dijaga oleh para ponggawa sakti.
II
Waktu Munding Sanggawati menjadi raja di Nusa Bali, Badak Pamalang menjadi senapati dan Gelap Nyawang menjadi jaksa, Parawa Kalih menjadi patih; sedangkan Demang Patih Naga Bali menjadi tukang menyabit rumput dan mengurus kuda delapan puluh ekor banyaknya. Pekerjaan itu sangat berat, sehingga ia tak sempat beristirahat.
Maka teringatlah Baginda Munding Sanggawati akan surat yang diberikan ibunda sebelum berangkat meninggalkan Pajajaran. Surat itu disimpannya baik-baik, karena pesan ibunda: "Janganlah surat itu dibuka sebelum menjadi raja. Tapi jangan pula sampai hilang, apabila surat itu hilang, nyawalah gantinya."
Karena sekarang ia sudah menjadi raja, maka surat itu dibukanya. Isinya adalah perintah agar la mendapatkan Puteri Kilat Bancana, adik Demang Rangsang Bentang dan Demang Lindu Jaya di Negara Kuta Tambaga. Ia terkenal sebagai seorang puteri yang cantik jelita.
Apabila ia dapat mempersunting Puteri Kilat Bancana maka akan aman sentausalah ia menjadi raja. Kalau tidak, maka tidaklah sempurna kebahagiaannya.
Setelah membaca surat itu, baginda selalu bermuram durja, sehingga Permaisuri Gelang Rarang Nimbrang Inten datang bertanya: "Apakah gerangan maka Rakanda tampak muram?" Baginda menyampaikan halnya. Sahut permaisuri: "Baik, perintahkan saja kepada para patih dan senapati kita untuk mencurinya dari negeri Kuta Tembaga."
Yang pertama-tama dipanggil adalah Kidang Pananjung.
Tetapi Kidang Pananjung hanya menggelengkan kepala: "Ua sudah tua, tidak sanggup melaksanakan tugas itu. Ua tak tahu di mana letak Negara Kuta Tembaga."
Juga Gelap Nyawang dan Patih Parawa Kalih, keduanya menyatakan tidak sanggup. Demikian juga Munding Rarangin, Gajah Rarangin, Demang Naga Bali-semuanya menyatakan tak sanggup untuk mencuri Puteri Kilat Bancana, kendati Demang Naga Bali dijanjikan akan diangkat kembali jadi patih kalau dapat memperolehnya.
Karena putus asa, maka Permaisuri Gelang Rarang sangat berduka. Ia menangis dengan pilunya, sehingga kelihatan oleh senapati Badak Pamalang.
Badak Pamalang bertanya: "Mengapa Gusti menangis?" Sahut Permaisuri: "Waktu kakanda Prabu Sanggawati berangkat dari Pajajaran, ia mendapat surat dari ibunda, yang tak boleh dibuka sebelum ia menjadi raja. Sekarang setelah ia menjadi raja di Nusa Bali, surat itu dibukanya. Adapun isinya perintah agar ia memperisteri Puteri Kilat Bancana dari negeri Kuta Tambaga. Kalau tidak mempersunting putri itu, maka kebahagiaannya menjadi raja tidaklah sempurna. Tapi tak seorang pun di antara para senapati yang sanggup untuk memperoleh puteri tersebut. Mereka tak mengetahui di mana letak Negara Kuta Tambaga."
"Ah, janganlah hal itu menjadi pikiran. Biarlah hamba yang mencuri puteri itu dari Negara Kuta Tambaga," kata Badak Pamalang.
Segera ia berdandan akan berangkat mencari Negara Kuta Tambaga. Mula-mula dinaikinya kuda, sampai ia tiba di simpangan jalan ke langit. Dari sana kuda dibawa kembali oleh Si Lengser, sedangkan Badak Pamalang merenung memikirkan kemungkinan letak Negara Kuta Tambaga. Akhirnya ia memutuskan untuk mencarinya dari awang-awang, karena: "Mencari Negara itu dari awang-awang lebih mudah," pikirnya. Maka ia pun terbang menjelajahi mega warna-warni. Keringat mengucur dari tubuhnya. ia memandang ke bawah, ke seputar arah; di Selatan tak nampak Negara Kuta Tambaga, pun di Utara tidak kelihatan, sebelah Timur: ternyata ada di situ, bahkan agaknya tidak begitu jauh dari Negara Nusa Bali.
"Kalau tidak terhalang hutan, niscaya Nusa Bali dan Kuta Tambaga itu bersatu," katanya dalam hati.
Badak Pamalang turun menuju ke Negara Kuta Tambaga.
Seperti namanya, Negara itu dikelilingi oleh kuta yang terbuat dari tembaga, tujuh lapis tebalnya. Kuta itu sangat rapi, sehingga tak nampak celah-celah untuk masuk. Badak Pamalang beruluk salam, tapi tak ada seorang pun yang menyahut. Ia berkeliling mengitari kuta, mencari kalau-kalau ada celah-celah tempat masuk. Tapi sia-sia. Maka ia pun naik ke atas puncak Kuta Tambaga, mencari-cari jalan. Ketika dirabanya saku, dijumpainya kanjut sirep dari Nini Buang dan Aki Buang. Dibukanya kanjut sirep itu dengan kerisnya dan keluarlah empat puluh ekor sirep yang ramai berbunyi karena lapar.
Keempat puluhnya berguling-guling mencari jalan masuk ke Negara Kuta Tambaga, tetapi tak mereka temukan. Akhirnya semuanya mengadu kepada majikannya: "Tuan, tak dapat kami bekerja karena tak ada lubang untuk kami masuk."
Maka dikumpulkanlah keempat puluh sirep itu oleh Badak Pamalang, lalu dijelmakannya menjadi minyak, yang sedikit demi sedikit menyerap ke dalam Kuta Tambaga, kemudian lapis kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh.
Maka masuklah mereka ke dalam Negara Kuta Tambaga.
Semua orang yang dijumpainya, dibuatnya mengantuk belaka. Orang-orang yang sedang menumbuk padi, tertidur selagi menumbuk padi. Si Lengser yang sedang meronda alun-alun, tertidur di alun-alun. Orang-orang yang sedang memasak, tertidur dengan berbantalkan mulut tungku.
Demang Rangsang Bentang sedang duduk di balairung, tiba-tiba merasa mengantuk bukan buatan. Ia teringat akan adiknya Kilat Bancana yang cantik. Maka pindahlah ia duduk ke dekat tempat tinggal adiknya, tetapi segera ia tertidur, ngorok, sampai pun kursi tempat duduknya ikut ngorok.
Sementara itu Demang Lindu Jaya lebih waspada. Waktu datang sirep kepadanya, segera dipukulnya kembali. Tapi kemudian datang dari arah Barat, dipukulnya pula. Datang dari Selatan, dipukulnya kembali ke Selatan.
Datang dari Utara, dipukulnya. Datang dari Timur, dipukulnya. Dari atas, dia pukul. Dari samping, dipukulnya. Maka sibuklah ia berkelahi dengan sirep. Tapi ada seekor sirep yang mengendap-endap di atas tanah, lalu merayap ke jempol kaki Demang Lindu Jaya, sehingga tak lama kemudian ia pun jatuh tertidur.
Maka senyaplah Negara Kuta Tembaga. Hanya dengkur orang tidur yang terdengar.
Dengan meraba daun kupingnya sendiri, Badak Pamalang tahu bahwa sirepnya sudah berjalan baik. Maka turunlah ia dari puncak kuta tembaga, lalu mengelilingi seputarnya.
Teringatlah ia akan jimat cupu dari Ular Laki, maka disemburkannya ke arah Kuta Tembaga. Kuta tembaga meleleh lalu mengkristal menjadi sebesar kacang hijau, kemudian masuk ke dalam cupu, menjadi tambahan kesaktiannya, cupu itu disimpannya lagi baik-baik.
Badak Pamalang masuk ke dalam Negara Kuta Tambaga. Ketika ia sampai di balairung, dibukanya pintu. "Sepi benar," pikirnya. Maka ia pun terus masuk ke tempat puteri. Didapatinya di sana dua orang puteri yang sedang tidur nyenyak. "Yang manakah Kilat Bancana? Keduanya sama cantik, sama jelita," katanya dalam hati. '"Ah, daripada aku salah pilih, lebih baik keduanya saja kubawa bersama."
La1u kedua puteri itu dimasukkannya ke dalam kandungan giringsing wayang. Kedua puteri itu masih juga nyenyak tertidur.
Ketika ia keluar, di alun-alun dijumpainya Demang Lindu Jaya sedang ngorok. Maka ditulisnya sebuah surat tantangan, lalu ditaruhnya di atas senapati yang sedang tidur itu. Dalam surat itu, Badak Pamalang menulis: "Kalau merasa kehilangan puteri, carilah Badak Pamalang yang akan menunggu di Negara Nusa Bali. Surat ini adalah tantangan perang."
Segera ia pun pulang kembali ke Negara Nusa Bali. Begitu sampai. Permaisuri Gelang Rarang segera menyambutnya: "Bagaimanakah hasilnya? Terbawakah puteri itu?"
"Tentu," sahutnya. "Tapi karena di sana hamba dapatkan dua orang puteri, dan hamba tak tahu yang mana Kilat Bancana, maka keduanya saja hamba bawa."
Kedua orang puteri itu dikeluarkan dari kandungannya. Tapi permaisuri pun tak tahu yang mana Kilat Bancana. Tapi kelihatan olehnya keduanya sama cantik, sama jelita. Kalau yang satu Kilat Bancana siapakah yang seorang lagi?
"Lebih baik kita persembahkan saja kepada baginda, mungkin baginda akan mengenalnya," akhirnya puteri Gelang Rarang berkata. Maka kedua puteri jelita yang masih juga tidur nyenyak itu dipersembahkan kepada Baginda Munding Sanggawati.
Baginda menerima keduanya dengan sukacita dan segera mengenal keduanya.
"Yang ini Puteri Kilat Bancana, adiknya Demang Rangsang Bentang dan Demang Lindu Jaya, puteri Negara Kuta Tambaga. Sedangkan yang seorang lagi adalah Nyi Lumur Agung Talagangsa, puteri Negara Kuta Mangruyung. Tapi mengapa ia ada di Negara Kuta Tambaga?" kata baginda heran.
Maka dibangunkanlah kedua orang puteri curian itu. Keduanya terkejut bukan buatan, dan memandang heran kepada baginda.
"Jangan terkejut, Jelita," sabda baginda. "Tuan puteri sekarang berada di Negara Nusa Bali. Apakah tuan puteri akan merasa betah di sini atau tidak, entahlah. Kalau betah, syukur, di sini tuan akan kami jadikan permaisuri. Tetapi kalau tidak merasa betah, katakanlah terus terang. Sekarang pun akan kami kembalikan tuan ke negeri Kuta Tambaga."
Demi melihat baginda, kedua puteri itu jatuh hati, lalu menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal di Nusa Bali. Baginda pun segera memberinya tempat tinggal bersama para puteri yang lain.
Sementara itu, Badak Pamalang sudah menarik kembali sirepnya. Maka orang-orang yang tertidur nyenyak di Negara Kuta Tambaga pada membuka matanya kembali.
Demang Rangsang Bentang segera meneliti keadaan sekelilingnya. Tak ada sesuatu pun yang hilang. Tapi ia merasa ngantuk luar biasa. Ia curiga, maka dicarinya si Lengser. Setelah bertemu keduanya lalu melihat-lihat sekeliling.
"Semuanya ada; bangunan-bangunan, barang-barang, ternak, semua ada," kata si Lengser.
Tapi waktu sampai ke tempat tinggal para puteri, keduanya terkejut.
"Celaka, Lengser, para puteri hilang!" kata Demang Rangsang Bentang.
Maka kcduanya menjadi sibuk. Dicarinya lebih teliti. Didapatinya Demang Lindu Jaya masih ngorok, lalu dibangunkan dengan susah payah. Ketika akhirnya terjaga, segera Demang Rangsang Bentang melaporkan tentang hilangnya kedua orang puteri.
"Adik kita Kilat Bancana dan Nyi Lumur Agung Talagangsa yang sedang bertamu, juga hilang, Kang Lindu," kata Demang Rangsang Bentang.
"Apa?" kata Lindu Jaya dengan kaget. ia bangkit. Maka kelihatanlah tulisan yang dibuat Badak Pamalang di atas dada Lindu Jaya.
"Lihat!" teriak Rangsang Bentang. "Bukankah itu surat di atas dada Kakang?"
Maka segera dibacanya surat tantangan Badak Pamalang. "Kurang ajar!" kata keduanya dengan murka.
Keduanya lalu berunding dan memutuskan akan berangkat bersama-sama ke Negara Nusa Bali. Mereka akan pura-pura hendak menghamba.
Badak Pamalang menerima keduanya dengan ramah. "Wahai Kanda Lindu Jaya dan Rangsang Bentang, apakah gerangan yang telah membawa kakanda datang ke sini?"
"Kami sedang mencari dua orang puteri adik kami. Apakah ada di sini?" Tanya Lindu Jaya.
"Ya, memang keduanya di sini," sahut Badak Pamalang. Jangan Kakanda berdua bingung."
"Kalau benar ada di sini, syukurlah," sahut Lindu Jaya.
"Dengan demikian dapatlah kami berdua menghamba kepada menak Pajajaran, sehingga dapatlah kami mempersembahkan Negara beserta seluruh isinya."
"Baik, baik," sahut Badak Pamalang.
"Kami mempunyai sebuah penjara besi yang sangat kuat. Tapi belum selesai benar," kata Lindu Jaya. `Ada bagian di dalamnya yang harus diperbaiki. Maukah Tuan melihat-lihatnya dahulu?"
"Baiklah," kata Badak Pamalang. "Ingin benar saya melihatnya."
Tiba-tiba terdengarlah olehnya suara Sunan Ambu dari Kahiangan berkata kepadanya: "Hati-hati Badak Pamalang, jangan terjebak!"
"Tidak," sahut Badak Pamalang. "Hanya mau melihat-lihat saja."
Maka berangkatlah mereka akan melihat-lihat penjara itu. Setelah sampai di Negara Kuta Tambaga, Badak Pamalang segera masuk akan melihat-lihat penjara dari dalam. Begitu la masuk, pintu segera ditutup dari luar dan dikunci oleh Lindu Jaya.
"Mampuslah kau Badak Pamalang!" katanya.
Tapi Badak Pamalang yang selalu dilindungi Sunan Ambu dari Kahiangan, segera memukul penjara itu hingga hancur. Lindu Jaya segera diperanginya, sampai jauh ke tepi laut. Lalu dibunuhnya di sana. Sesudah itu ia kembali untuk mencari Rangsang Bentang, yang bersembunyi ketakutan. Ketika tempat persembunyiannya ketahuan, Demang Rangsang Bentang segera menyatakan takluk. Kakaknya, Lindu Jaya, dimohonnya agar dihidupkan kembali. Setelah dihidupkan kembali, keduanya dengan tulus menyatakan akan mengabdi.
Keduanya disuruh pergi menghadap baginda di Negara Nusa Bali, sedangkan Badak Pamalang akan mengurus harta benda yang akan dia bawa. Seluruh isi Negara Kuta Tambaga dibungkusnya dengan rapi, lalu diikatnya erat-erat, besar nian dan berat nian. Bungkusan yang besar itu lalu diangkat oleh angin ke mega malang, sampai meganya patah-patah. Maka ditaruhnyalah di atas mega yang besar, lalu merubah dirinya menjadi seorang anak kecil dan bertapa di atas bungkusan itu.
Maka tersebutlah Lembu Pelengkung dari Negara Kuta Mangruyung, berniat akan menjemput adiknya, Nyi Lumur Agung Talagangsa, yang sudah lama bertamu di Negara Kuta Tambaga. Ia terbang menjelajah mega, hingga sampai ke tempat bungkusan Badak Pamalang.
"Siapakah yang empunya barang ini?" tanyanya waktu dilihatnya ada seorang anak kecil duduk di atasnya.
"Bungkusan ini kepunyaan Tuan Lindu Jaya dan Rangsang Bentang," sahut anak kecil penjelmaan Badak Pamalang. "Saya disuruhnya menjaga di sini, sampai datang seorang yang gagah perkasa bernama Lembu Pelengkung. Katanya saya harus menyampaikan pesan kepada Lembu Pelengkung, bahwa la harus menyusul mereka ke Negara Nusa Bali, dan mengabdi kepada menak Pajajaran. Barang ini harus dibawanya serta."
"Bagaimana akan membawanya, sebesar ini?" tanya Lembu Pelengkung.
"Hal itu sudah pula diajarkan Lindu Jaya kepada saya," sahut anak kecil itu. "Tuan tinggal tidur di atasnya, nanti saya ikat baik-baik."
Lembu Pelengkung mengikutinya. Ia diikat oleh Badak Pamalang erat-erat sehingga tak bisa melepaskan diri sama sekali. Lalu Badak Pamalang menulis surat untuk Patih Parawa Kalih: "Ini adalah harta benda taklukan dari Kuta Tambaga. Urus sajalah harta benda ini, sedang tali yang mengikat Lembu Pelengkung jangan dahulu dibuka sebelum saya datang." Kemudian disepaknya bungkusan itu, jatuh di tengah alun-alun Negara Nusa Bali.
Badak Pamalang merasa berdosa karena telah mengabaikan peringatan Sunan Ambu dari Kahiangan mengenai penjara itu, sehingga ia merasa perlu untuk mengunjungi Sunan Ambu di Kahiangan, akan meminta dirinya agar disepuh kembali. Permintaan itu dikabulkan oleh Sunan Ambu. Dan setelah selesai segera ia disuruh kembali. Tiba di mega malang, ia berhenti, lalu berpikir: "Ah, baiklah aku tinggal di sini saja dahulu, bertapa."
Maka bertapalah ia di situ.
Bungkusan harta benda yang tiba di alun-alun diatur oleh Patih Parawa Kalih. Dieprsembahkan kepada baginda. Baginda sangat gembira demi mengetahui wilayah kekuasaannya kian luas dan kekayaannya kian bertambah. Harta benda dimasukkan ke dalam gudang, sedangkan Lembu Pelengkung dimasukkan ke dalam kurungan baja.
Pada suatu pagi, Baginda Munding Sanggawati tidur-tiduran di hadap oleh para patih dan senapati. Tiba-tiba tampaklah oleh Patih Parawa Kalih seekor binatang kecil keluar dari lubang hidung baginda, lalu hinggap pada jempol kaki, lalu meloncat entah ke mana.
"Kalau itu adalah sukma baginda, biarlah kutunggu niscaya balik lagi," kata Patih Parawa Kalih kepada Kidang Pananj ung.
Maka keduanya duduk menunggu.
Beberapa jenak kemudian, binatang itu datang kembali, hinggap pada jempol kaki, lalu melalui badan masuk ke dalam lubang hidung.
Baginda terjaga. Begitu terjaga, segera beliau bersabda kepada Patih Parawa Kalih, Kidang Pananjung dan Gelap Nyawang.
"Ua, baru saja saya mendapat ilapat," sabdanya.
"Niscaya ilapat bohong, karena tak pernah terbukti," sahut Parawa Kalih.
"Ua, kami bermimpi bertemu dan bercengkerama dengan Puteri Angrum Ganda Wayang Sari, mustika negara Parakan Wayang," sabda baginda pula tak memperhatikan sembah uanda. "Pergilah, Ua, carilah putrei jelita Parakan Wayang itu."
"Tidak mau, karena mimpi tidak pernah terbukti," sahut Kidang Pananjung.
Tetapi baginda terus mendesak, sehingga akhirnya Patih Parawa Kalih, Kidang Pananjung dan Gelap Nyawang pergi akan mencari Putri Angrum Ganda Wayang Sari di negeri Parakan Wayang.
Negeri itu tidak sulit dicari. Waktu sampai di alun-alun Parakan Wayang, mereka ditegur dengan ramah oleh Patih Bima Wayang.
"Wahai, Ua Parawa Kalih. Angin apakah gerangan yang membawa ua bertiga sudi menginjakkan kaki ke tempat kami?" tanya Bima Wayang merendah.
"Kami datang ke sini membawa titah baginda akan melamar Puteri Angrum Ganda Wayang Sari," sahut Patih Parawa Kalih.
"Jangan kepada saya," kata Patih Bima Wayang. "Lebih elok kalau ua langsung menghubungi orangnya sendiri."
Mereka diantar ke tempat tinggal para puteri.
"Wahai, ua, ua datang ke sini, ada apakah gerangan?" tanya Angrum Ganda Wayang Sari.
Maka patih Parawa Kalih menyatakan niatnya, "Sukakah sang puteri menjadi permaisuri menak Pajajaran?"
"Suka sekali," sahut Angrum Ganda Wayang Sari. "Hamba tidak keberatan menjadi permaisuri Baginda Munding Sanggawati."
Patih Parawa Kalih tertegun. "Mengapa Ua?" Tanya sang puteri.
"Terlalu mudah! Mentang-mentang yang melamar putera Pajajaran - tetapi mengapa tidak tuan hamba ajukan syarat?" kata Patih Parawa Kalih.
"Bagaimana?"
"Mintalah sesuatu!"
"Habis, apa yang harus hamba minta?" tanya puteri itu dengan heran.
"Dengar," kata Parawa Kalih. "Walau pun suka, tapi ajukanlah permohonan sebagai syarat."
"Ya, tapi apa yang harus saya minta?" sahut puteri.
"Gamelan dua puluh lima perangkat, misalnya."
"Buat apa? Gamelan di sini pun bertumpuk. Kalau ua mau bawa, boleh saja sebanyak suka."
Akhirnya puteri sepakat untuk meminta agar calon suaminya membawakannya banteng lilin berwarna gading, kaki wayang batu bentang, tanduk bagaikan pedang malela, ekornya belang berwarna emas. Maka patih Parawa Kalih pulang ke Nusa Bali akan mempersembahkan hal itu kepada Baginda Munding Sanggawati.
"Hanya itu saj a?" tanya baginda. Tapi keningnya berkerut: "Ke mana harus mencarinya?"
Baginda meminta tolong kepada Permaisuri Gelang Rarang yang sakti. Ternyata banteng lilin tersebut ada di Negara Kuta Genggelang. Baginda lalu bertanya: "Siapakah yang sanggup menangkap banteng itu? Apakah Ua Kidang Pananjung? Banteng itu kepunyaan raksasa bernama Jonggrang Kalapitung yang harus ditaklukkan."
Maka pergilah Kidang Pananjung akan melaksanakan titah baginda. Lalu ditemuinya Jonggrang Kalapitung, kalau-kalau akan menjual bantengnya. "Berapa pun harganya akan dibayar oleh baginda," kata Kidang Pananjung.
"Tidak," sahut Jonggrang Kalapitung. Berapa pun harganya, banteng lilin takkan kujual. Aku baru mau melepaskannya kalau ditukar."
"Ditukar dengan apa?" tanya Kidang Pananjung.
"Dengan Puteri Lenggang Kencana, permaisuri putera Raja Pajajaran yang tertua," sahut Jonggrang. "Bawa dia ke sini sesudah dipanggang."
Kidang Pananjung pulang, mempersembahkan hal itu kepada baginda. Baginda segera bersabda: "Apa salahnya? Bunuh saja Lenggang Kencana, lalu berikan kepada Jonggrang."
Patih Parawa Kalih mendapat tugas untuk melaksanakannya.
Permaisuri Lenggang Kencana bersedia untuk dibunuh demi kebahagiaan baginda, tetapi keenam orang permaisuri yang lain keberatan. Mereka memeluk Lenggang Kencana, tak lepas-lepas sambil menangis: "Kalau ibu wafat, kami pun serta."
Patih Parawa Kalih bingung memikirkan bagaimana melaksanakan tugasnya. Maka dimintanya agar Sunan Ambu dari Kahiangan mengirimkan pisau lebar-lebar untuk melaksanakan tugasnya.
Pisau diturunkan dari Kahiangan, lewat ke dekat Badak Pamalang yang sedang bertapa di Mega Malang. Badak Pamalang terjaga: "Apakah gerangan yang lewat?" ketika ia melihat ke bawah, tampak olehnya Ibunda Lenggang Kencana beserta enam permaisuri yang lain sedang berada dalam bahaya. Maka ia pun terbang dengan cepat, mengangkat ketujuh orang puteri itu ke Mega Malang. Kepada Ibunda Lenggang Kencana, ia segera meminta keterangan.
"Kalau demikian halnya," kata Badak Pamalang. "Biarlah ananda saja yang merebut banteng lilin dari tangan Jonggrang Kalapitung."
Keenam orang permaisuri itu merasa khawatir kalau-kalau Badak Pamalang tak mampu menghadapi Jonggrang. Tapi Badak Pamalang tak tampak gentar sedikit pun.
Dengan kesaktiannya, Jonggrang Kalapitung dikalahkannya. Maka diperolehnya banteng lilin, yang menyatakan takluk kepadanya. Banteng itu disuruhnya pergi ke Negara Nusa Bali menemui Baginda Munding Sanggawati. Badak Pamalang menghadap kepada Sunan Ambu di Kahiangan agar memberi tangga untuk ketujuh orang ibundanya turun ke bumi.
Baginda Munding Sanggawati tidak tahu bahwa ketujuh orang permaisurinya hilang. Yang terpikir olehnya hanyalah Puteri Angrum Ganda Wayang Sari. Waktu banteng lilin datang, segera diajaknya para patih untuk pergi ke Parakan Wayang. Semuanya seakan-akan pindah meninggalkan Negara Nusa Bali. Maka di Negara Parakan Wayang baginda merasa telah mencapai puncak kebahagiaan.
Setelah memperoleh tangga kencana dari Kahiangan, Badak Pamalang mengajak ketujuh orang ibunda turun. Mereka turun di Negara Gunung Tilu Mande Ayu. Mereka hidup berbahagia di situ.
Badak Pamalang menulis surat kepada Baginda Munding Sanggawati, menantangnya memperbandingkan kecantikan permaisuri dari Parakan Wayang dengan ibunda yang tujuh. Apabila ketujuh Ibunda yang kalah, maka Negara Nusa Bali akan diserahkan. Tapi apabila permaisuri Parakan Wayang yang kalah, maka Negara Parakan Wayang yang harus diserahkan kepada Badak Pamalang.
Tantangan itu diterima. Prabu Munding Sanggawati menyediakan panggung, tujuh buah kendi. Di dalam kendi itulah nanti ketujuh orang puteri mandi. Di samping itu akan pula ditancapkan sebuah keris yang pucuknya di atas; para puteri harus menari di atasnya.
Para permaisuri itu silih berganti bertanding. Hampir tak ada yang kalah ataupun menang. Kalaupun pihak ibunda kebetulan menang itu hanyalah karena perbedaan kecil saja. Setelah semua permaisuri maju, tinggallah lagi ibunda Lenggang Kencana bertanding dengan Angrum Ganda Wayang Sari. Keduanya sama cantik, sama jelita. Lalu masuk ke dalam kendi, mandi berkecimpung di dalamnya. Dan dari sana lenyap, karena keduanya pergi ke Kahiangan akan meminta kembang surga. Sunan Ambu di Kahiangan memberikan lima tangkai kepada Angrum Ganda Wayang Sari, dan sembilan tangkai kembang kepada Lenggang Kencana.
Maka menanglah Lenggang Kencana.
Berarti Badak Pamalang menang. Menurut perjanjian maka Baginda Prabu Munding Sanggawati harus menyerahkan Negara Parakan Wayang kepada Badak Pamalang.
Badak Pamalang menganggap hal itu sebagai pelajaran bagi baginda agar tidak menyia-nyiakan permaisurinya sendiri. Baginda menyadari kekeliruannya dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Sebagai imbalan akan jasa jasanya, Badak Pamalang diangkat menjadi tumenggung. •