Jumat, 18 April 2008

JATIRAGA

KIWARI naskah Kropak 422 anu ieu teksna kapidangkeun teh diteun­deun minangka koleksi naskah lontar Sunda Buhun di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Teksna dijudulan "Jatiraga", nu hartina hakekat raga. Ieu naskah teh asalna ti Kabuyutan Kawali, Ciamis Kaler, nu disang­gakeun ku Bupati Galuh R.A.A. Kusumadiningrat (1839-1886) ka Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW), nyaeta pakumpulan nu anggota-anggotana mikaresep seni katut elmu panemu.

Numutkeun ieu naskah, di satungkebing jagat teh aya tilu dunya, nyaeta sakala (dunya nyata), niskala (dunya go'ib), jeung jatiniskala (sajatining nu maha go'ib). Nu darumuk di sakala teh mahluk nu mibanda jasmani katut rohani, cara manusa, sato, tutuwuhan, jeung sabangsana. Nu darumuk di niskala mah mahluk nu teu kadeuleu wujudiahna, bangsaning lelembut, dewa-dewi, bidadara-bidadari, apsara-apsari, katut syanu (rub nu netral). Syanu nu ngagabung jeung bayu, sabda, katut hedap disebut syaku. Ari nu darumuk di jatiniskala mah Hyang Manon (dat Nu Maha Tunggal) katut Si Ijunajati Nistemen (dat Nu Maha Nyiptakeun).

Nu kapidangkeun di dieu teh hasil ngedit teks katut tarjamahna dina basa Indonesia nu kaunggel dina naskah Kropak 422 tea. Teks katut tarjamah teks "Jatiraga" teh bisa kapidangkeun deui ku alpukahna Yayasan Toyota (The Toyota Foundation) di Tokyo, Jepang. Nu ngagarapna, bareng jeung ngagarap naskah Kropak 420 katut Kropak 421, Undang A. Darsa sareng Edi S. Ekadjati dina taun 2004.


<2a> Yang Maha Bijaksana berkata:

"Terus cemerlang tembus hingga ke buana bening!

Ah inilah Si Ijunajati.

Ah bukan sorga yang dikuasai oleh, Sang Hyang Tunggal Premana. Kalaulah itu tangguh, sebab keesaan keesaanku sendiri,

kebijakan kebijakanku sendiri."

Terus cemerlang tembus hingga ke jagat raya.

Ah ujar Sang Hyang Aci:

"Ah inilah Si Ijunajati.

Ah bukan penjelmaan dari, Sang Hyang Tunggal Wisesa.

Kalaulah itu unggul, sebab kekuasaan kekuasaanku sendiri."

Terus cemerlang tembus hingga ke buana hening.

Sang Hyang Aci berkata:

"Aku inilah Si Ijunajati.

Ah karena memang bukan, ke<2b>diaman Sang Hyang Hurip.

Tidak ada kekuatan, ucapan, dan tekad.

Kalaulah itu terlalu berkuasa,

sebab kesentosaan kesentosaanku sendiri,

pengabdian pengabdianku sendiri,

tenaga tenagaku sendiri,

ucapan ucapanku sendiri,

nurani nuraniku sendiri.

Segala upaya tembus langsung, hingga ke alam gaib.

Hakikat buana adalah kegaiban buana,

kegaiban itulah gaibnya siang selalu."

Ujar Sang Hyang Aci pada hakikat kekuasaan:

"Aku inilah Si Ijunajati.

Ah bukan kesorgaan Batara Niskala,

yakni Batara Lenggang Buana, yaitu Batara Sang Acilarang,

hakikat dari kejernihan,

hakikat dari keheningan,

hakikat dari semua sifat kedewaan.

Kesejahteraannya untuk kesejahteraan semua.

Dialah yang menciptakan, te<3a>naga, ucapan, nurani, birahi, emosi, kebajikan, kekuasaan, kesentosaan, keesaan, dan pengabdian,

yakni yang menguasai alam kehidupan.

Hakikat kewanitaan itu ialah kekuasaan Sang Hyang Sri,

dari yang berkuasa unggul,

dari yang unggul mengasuh,

dari yang mengasuh sejahtera,

dari yang sejahtera tak nampak,

dari yang tak nampak indah,

dari yang indah halus,

dari yang halus gaib,

dari yang gaib sempurna,

dari yang sempurna bersifat kedewaan,

dari yang bersifat kedewaan.

Begitulah sesungguhnya yang tinggal,

di luar sifat kedewaan,

di luar kesentausaan,

di luar kemungkinan,

di luar kemustahilan.

Dambaan setiap penjelmaan, dambaan semua yang bersifat kedewaan.

Dialah ratu <3b> dari segala ratu dewata.

Batara Jati Niskala (adalah), penjelmaan Batara Niskala,

yakni yang bersifat gaib, tampil tujuh menjadi tunggal,

demikianlah semuanya itu."

"Ah", kata Sang Hyang Aci Kumara.

"Karena itulah berkuasa di mana-mana.

Karena itulah terlalu berkuasa,

sebab memang itu keabadianku,

halus halusku sendiri,

kemungkinan kemungkinanku sendiri,

kemustahilan kemustahilanku sendiri,

tiada tiadaku sendiri.

Maka dialah yang menemukan, dunia gemerincing.

Ramai suara bunyi-bunyian, dalam pusat dunia gemerincing,

kumarenycang kumarenycong,

lebih ramai daripada pusat keramaian di bawah,

bunyi gamelan keramat diiringi tarawangsa,

tersebar <4a> oleh hembusan angin.

Berhasillah dia memerintah,

pada bumi tanpa tanah,

pada ruangan tanpa udara,

pada siang hari tanpa matahari,

pada purnama tanpa bulan,

pada tiupan tanpa angin,

pada cahaya tanpa bayangan,

pada angkasa tanpa langit,

pada kodrat tanpa kehidupan.

Tidak ada pelangi yang bersilangan,

angkasa raya yang bersentuhan.

Tidak tergelapkan oleh siang hari,

tidak terterangi oleh terang,

tidak terhalangi oleh siang dan malam,

tidak terlebihi tinggi oleh ketinggian,

tidak terlebihi rendah oleh kerendahan,

tidak terkecilkan oleh luasnya.

Itulah keluarbiasaan dewata.

Makanya dia terkenal, di Alam Azali.

Dikatakan sedang bertapa di perbatasan <4b> langit,

berada berhimpitan dengan awan,

diam bagaikan yang tidak bergerak,

tubuh dia adalah tempat permata doa,

sehingga pandangan dia begitu jauh juga dekat.

Batara Niskala berucap demikian:

"Aduh anakku, Sang Hyang Aci Kumara,

beruntung sekali anda berada di tempatku,

apabila sampai berhasil memiliki bimbingan,

hari tuanya akan senang dari sekarang, anakku."

Sang Hyang Aci Kumara berkata:

"Aduh ini terkena kenistaan,

oleh nigi nistina 'kesetiaan sempurna',

oleh suksu nigi nistina 'pandangan kesetiaan sempurna',

diperintah oleh Sang Hyang Ayah,

menghadap Batara Guru suci di permukaan bumi,

hakikat Pwah Sang Hyang Sri."

Sang Aci Larang berkata:

"Aduh anakku Aci Kumara,

jika begitu mari kita semuanya,

mengemban amanatku sedemikian rupa.

Jika tak mau <5a> janganlah dipaksa,

karena mungkin melemahkan badan,

tapi kalaulah bersedia bawa bersama salah seorang anakku."

Janganlah salah memerintah,

jangan keliru di ketujuh (dewi):

Dewi Tunyjung Herang,

Dewi Sri Tunyjung Lénggang,

Dewi Sri Tunyjung Hung,

Dewi Sri Tunyjung Manik,

Dewi Sri Tunyjung Putih,

Dewi Sri Tunyjung Bumi,

Dewi Sri Tunyjung Bwana.

Yang bertanggung jawab atas penjelmaannya itu,

mengemban berbagai bidadari,

namanya Bidadari Tunyjung Maba,

Bidadari Tunyjung Mabra,

Bidadari Tunyjung Syang,

Bidadari Tunyjung Kuning,

Bidadari Tunyjung Nagawali,

Bidadari Naga Nagini.

Selanjutnya begini:

Dewi Sari Banawati bersama,

Dewi Bidadari Manikmaya,

Bidadari Mayata,

Bidadari Atastita,

Bidadari Madongkap,

Bidadari Nilasi,

Bidadari Mayati,

Bidadari Wadingin,

Bidadari Kumbakeling,

Bidadari <5b> Maya Yuwana,

Bidadari Jana Loka,

Bidadari Manon Hireng,

Bidadari Madwada,

Bidadari Kunti,

Bidadari Titisari,

Bidadari Kindya Manik,

Bidadari Madipwak,

Bidadari Maya,

Bidadari Jabung,

Bidadari Galetwar,

Bidadari Werawati,

Bidadari Rumawangi,

Bidadari Kinasihan,

Bidadari Kamwawati,

Bidadari Kemang,

Bidadari Kujati dengan Dewi Bintang Kukus,

Bidadari Ratna Kusumah,

Bidadari Hening Hinisjati,

Bidadari Nongton Manik,

Bidadari Gendang,

Bidadari Kalasan,

Bidadari Kamadipi,

Bidadari Endah Patala,

Bidadari Sedajati,

Bidadari Imitjati,

Bidadari Jlag Sabumi,

Bidadari Pada Ni Wangi,

<6a> Bidadari Keling,

Bidadari Goda Banycana,

Bidadari Saresehkane.

Namun tak disebutkan tempat tinggal mereka, di alam kesorgaan.

Yang terpenting adalah golongan mahluk suci,

sejak berjalannya kekuasaan Sekar Bumi,

(yakni) Si Dewi Bukacim,

semenjak Maraja Nisgandawati.

Dialah dewi pengatur yang tak pernah diam,

Pwah Wirumananggay yang diresapi tabiat,

welas-asih dari ibu dan adik-adiknya.

Demikianlah mereka yang tinggal di tempat itu.

Bimbing dan segeralah berangkat, anakku.

Sedangkan mengenai amanatku itu,

apabila langsung berjumpa, ambillah,

Demikianlah anakku."

Sahut Sang Hyang Aci Kumara:

"Aduh janganlah itu sampai tidak ditaati."

Batara Niskala menjawab:

"Bagus jika begitu keadaannya, semuanya memohon maaf.

Tak mungkin menjalani rintangannya,

berpura-pura badan perkasa.

Begitulah <6b> semoga maklum.

Tak ada harapan bagiku untuk segera melaksanakan,

padahal demikian sama-sama pandai."

Batara Niskala berkata:

"Aduh selamatlah, anakku.

Hasil berbuat kasih sayang kepadaku,

menasihati dengan kata-kata yang baik.

Namun sesungguhnya akulah yang lebih dulu unggul,

begitu pun nama beliau,

Prebu Jatiniskala,

Sang Lenggang Buana,

intisari hakikat dewata.

Begitulah sifat beliau, anakku.

Nah segeralah kau berjalan,

telusurilah dalam Jatinistemen 'hakikat keteguhan'.

Mudah-mudahan kau terangkat, kelak menjadi harum namamu,

tak kan pernah habis untuk diberitakan.

Kesenangan kembali lagi ke dunia,

simpanlah kelak ke dalam tubuh halus,

dalam alam kehampaan.

Kalaulah nanti menemukan yang tanpa wujud,

hampirilah kembali dalam jasad halus,

kau menjelma kembali.

Sehabis itu kau turun, <7a> ke alam kesorgaan.

Sekianlah anakku."

Itulah Sang Hyang Acikumara,

merasa dirinya telah diberi jalan.

Perkataan menyenangkan bercampur tanpa tersusun,

kemudian terkenang ke masa lalu,

tampak jelas membentang tanpa cahaya,

berjejer menukik hingga ke bawah,

keadaannya sangat luas,

setiap yang dia tempati sangat luas.

Bersemayamlah dia hingga menjadi sirna, tiba di dunia hampa.

Nah inilah Si Ijunajati Nistemen.

Ah bukan penjelmaan Rahyang Jati Tanhana,

sebab ada dalam rancangan Darmajati 'hakikat keadilan',

karena sifat itulah menjadi unggul,

itulah kegaiban sejati.

Akulah Darmajati,

aku itu adalah dia sebagai aku,

aku sendiri adalah dia,

memberi terus cemerlang,

di malam gelap gulita,

sekedip cahaya bumi terang benderang.

Nah <7b> inilah Si Ijunajati Nistemen,

batas terang tanpa ada yang menutupi.

Ah bukan semata-mata hanya di kulit, di jagat kosong,

bahkan lebih kosong lagi.

Apalagi aku adalah penjaga tetap,

lagi pula tangguh berkekuatan besar,

bergelantung tetapi tak berjuntai,

keadaannya seperti pelangi,

sebagai jelmaan batara, yakni Batara Bayu Buana.

Terlebih lagi itu adalah memperkuat ketertiban,

perwujudan kemarahannya dalam berpuasa.

Seandainya marah melihat dengan bebas,

ah (tentu saja) ............................... sedemikian.

Kalaulah itu tangguh,

sebab marah marahku sendiri,

puasa puasaku sendiri.

Dialah sebenarnya yang mengawasi dari kejauhan,

berdekatan mengatur di kemudian waktu.

Terus cemerlang tembus melihat jelas di akhirat,

keluarbiasaannya itu menembus neraka.

Sang Hyang Aci Wisesa berkata:

"Ah apa isi raga itu?

<8a> Tanpa bayangan tanpa wujud,

dalam bayang-bayang, samar-samar remang-remang.

Ada maupun tidak masuk dengan sendirinya,

dengan perut, tangan, (dan) kepalanya,

sebagian berada di tempat yang sama, di ketiga tempat di jagat itu.

Bahkan tiba-tiba di penjuru jagat itu kosong.

Tujuh jalan pembebasannya membaca syair-syair pujian,

do'anya tak ada aturan.

Sang Hyang Aci Wisesa berkata:

"Nah jadi cemerlang aku datang ke Jatinistemen,

dan aku akan meninggalkan raga dahulu."

Karena itulah raga ditinggalkannya, di alam keabadian.

Makanya Sang Hyang Aci Nistemen,

berusaha terlepas dari tubuh halus.

Lalu raga ditunggui oleh kekuatan dewata,

nurani dewata dan ucapan dewata.

Barangkali begitulah apa yang dikatakan,

sesampainya kembali ke asal,

setibanya kembali ke permulaan,

menurut riwayat sebisanya,

menurut <8b> cerita yang bodoh.

Itulah kesempurnaan Jatinistemen,

yang sempurna tanpa ada tujuan,

kesempurnaan moksa tanpa ada perintah.

Dialah yang menjumpai tanpa wujud,

tanpa bayangan dan tanpa kediaman,

Yang Maha Agung tanpa perlu kekuatan,

tanpa perlu ucapan, tanpa perlu itikad,

tanpa perlu cerita, tanpa perlu sorga,

tanpa perlu kebebasan, tanpa perlu lepas,

tanpa perlu hyang, tanpa perlu dewata,

tanpa perlu macam jenis, tanpa perlu aturan.

Berhubung dengan bunga kasih selamanya,

tidak ditemukan meski dipelajari,

tidak terungkap meski diangan-angankan.

Jadi demikianlah arti Jatinistemen:

tak terkatakan, tak terasakan, tak terdengar, tak terlihat,

tak terhalangi Mahagaib, [jika memancarkan sinar].

Ada kekuatan tanpa tenaga, ada ucapan tanpa kata,

ada perasaan tanpa dirasakan,

ada hidup tanpa disebut sejahtera,

<9a> tidak rendah tidak pula tinggi.

Ada kekuatan tetap kekuatanku begini,

ada ucapan tetap ucapanku begini,

ada perasaan tetap perasaanku begini.

Bagaimana mungkin akan diperintah,

karena memang bukan untuk diperintahnya.

Bagaimana mungkin akan terasakan,

karena memang bukan untuk dirasakannya.

Bagaimana mungkin bisa terlihat,

karena memang bukan untuk ditontonnya.

Bisa jadi mustahil, sebab memang mustahil untuk bisa dituduhnya,

tidak tunggal, tidak waspada, (dan) tidak berkuasa,

karena kedatangannya menuju ketangguhan,

sampai ke batas kekuatan.

Itulah keheningan jagat,

yakni beginilah kebenaran sejati, tak mungkin terhalang.

Disebut sejati tidak samar,

disebut bebas tidak bebas,

disebut mungkin tidak mungkin,

yakni bisa bersembunyi sebagai kapas,

yang diperintah pada kebenaran sejati,

dalam hukum yang tidak diperintah,

yang melihat di luar kebenaran <9b> sejati.

Yang bagaimanakah yang dimaksud merasakan?

Diperintah tapi tak bisa diperintah.

Dia yang memerintah, dia pula yang diperintah,

Dia yang membuat, dia pula yang dibuat ....

Itulah sebabnya tak bisa diperintah.

Seterusnya: perjanjian perjanjiannya sendiri,

karena itu diperintah memerintah sendiri,

karena itu terasakan merasakan sendiri,

karena itu adanya cerita menceritakan sendiri,

karena itu dalam hal lenyap melenyapkan sendiri,

karena itu hadir menghadirkan sendiri.

Termasuk kemungkinan lepas adalah kemungkinannya,

terhindar lepas dari lepasnya,

kebenaran sejati lepas dalam kebenaran sejati.

Begitulah penjelasan tentang kebenaran sejati.

Nah begitulah yang dimaksud dengan tubuh kasar,

ia di sini juga di sana,

yakni yang di sini pun adalah yang di sana.

Tersebutlah tentang tubuh halus,

yang berada dalam tenaga ucap dan rasa.

<10a> Berkatalah Dia itu demikian:

"Ah begitu berkuasanya aku,

tak mungkin ada yang berkuasa melebihi aku,

tak mungkin ada yang unggul melebihi aku,

tak mungkin ada yang suci lebih dariku,

sehingga mustahil ada yang menguasai aku,

sebagai pengikut hakikat kebenaran sejati."

Berujarlah Dia demikian:

"Nah Bayu Sabda Hedap,

itu sebabnya hingga menyebut diri sendiri,

menurut perasaannya itu belum, ditinggalkan oleh aku."

Berkata lagi tentang tenaga ucap dan rasa,

Hanya seperti itulah yang namanya bertata-tertib.

Aku adalah bersifat diriku sendiri, aku adalah kekuasaanku sendiri, hakikat dari seluruh dewata.

Aku adalah hakikat Jatiniskala "alam gaib sejati",

aku adalah hakikat Patanjala,

serta hakikat Prabu Cakrawati,

begitulah menurut perasaanku.

Hakikat Jatinistmen berkata:

"Bayu Sabda Hedap,

janganlah kalian menyombongkan diri,

hendaklah lebih rendah hati dalam hal kekuatan itu.

Janganlah <> sombong mentang-mentang,

inti pada hakikat Prebu Cakrawati,

jika dilarang begitu ya begitulah,

semuanya memikulnya sebab ada bentuk pada badan."

"Nista engkau", ujar Bayu Sabda Hedap.

"Nah itulah kesempurnaan, yaitu Si Ijuna Jatinistmen.

Tidak terlihat wujudnya, cuma terdengar suaranya."

Hakikat Jatinistmen berkata:

"Nah Bayu Sabda Hedap,

bagaimana mungkin muncul bentuk nyata,

karena aku sebenarnya dalam hakikat Jatinistmen,

sebab aku adalah bebasnya dari kebebasan,

sebab aku adalah mustahilnya dari kemustahilan,

sebab aku adalah mungkinnya dari kemungkinan,

sebab aku adalah sirnanya dari kesirnaan,

sebab aku adalah lepasnya dari kelepasan,

sebab aku adalah aslinya dari keaslian,

sebab aku adalah jujurnya dari kejujuran,

sebab aku adalah bunga putihnya dari bunga putih,

karena bukan yang hendak dicarinya,

karena bukan yang dicari bukan pula yang mencari.

Dia yang melihat dan dia pula yang di<11a>lihat,

dia yang ada dan dia pula yang tiada,

tersembunyi tapi tak tersembunyi, nyata namun tak nyata.

Sesungguhnya akulah yang melihat,

di luar dari dewata,

di luar dari kehidupan,

di luar dari Yang Maha Melihat,

di luar dari kodrat,

di luar dari kemungkinan,

di luar dari kekuatan,

di luar dari ucapan,

di luar dari perasaan,

dilihat tapi tak terlihat.

Akulah yang memperhatikan,

kekuatan tak terbawa kekuatan,

memperhatikan ucapan tapi tak terbawa ucapan,

memperhatikan perasaan tapi tak terbawa perasaan.

Akulah Sang Manwan "Yang Maha Melihat",

yang berkuasa atas Bayu Sabda dan Hedap.

Sabda yang menyampaikan berbagai pengetahuan,

berbagai jalan yang dituju.

Begitulah Bayu Sabda dan Hedap.

Jangan sampai dia tak tahu pada kodratnya,

janganlah kau mentang-mentang kuasa,

sebab kekuatanmu sebenarnya adalah kekuatanku,

perasaan perasaanku sendiri,

kesejahteraan kesejahteraanku sendiri,

hakikat hakikatku sendiri,

dewata dewata<> ku sendiri,

Patanyjala Patanyjalaku sendiri,

Cakrawati Cakrawatiku sendiri.

Aku sendiri adalah kau,

kau adalah aku sendiri."

Demikianlah tentang Bayu Sabda Hedap,

kenyataannya pada hakikat Jatinistmen,

tak terdengar sifat kegelapannya,

pada getaran tabiat alam akhirat.

Kalaupun mengalami masuk gerbang terlarang, pengikut ....

Apalagi jiwanya jauh cemerlang,

jaraknya disebabkan oleh getaran busur yang melesat,

menutup semakin lama semakin gelap,

tiga awan terlihat membelah teriris,

itulah permukaan matahari yang menyinarinya.

Itulah bukti adanya kesaksian,

badan halus itu nyatanya dalam Jatinistmen,

lalu mencari rasa dan mencari kasih sayang,

mencari tekad dan mencari kata di luar ucapan,

mencari tenaga di luar kekuatan ucapan dan niat.

Dia berkata: <12a> "Nah Bayu Sabda Hedap,

ternyata bahwa akulah yang harus menaungi itu.

Kepergianku tak diketahui, kedatanganku pun tak diketahui,

di situlah terbukti adanya kesaksian,

sebab akulah sesungguhnya hakikat Jatinistmen,

hakikat Prabu Cakrawati.

Benar artinya jika: kekuatan diperkuat lagi,

ucapan diucapkan lagi,

perasaan dirasakan lagi,

hidup dihidupkan lagi,

jernih dijernihkan lagi,

sejati disejatikan lagi, kegaiban digaibkan lagi,

halus dihaluskan lagi,

lenyap dilenyapkan lagi,

pengawasan diawasi lagi,

berjalan diberjalankan lagi,

sadar disadarkan lagi.

Lirikannya membungkuk, enggan makan dan minum,

maha pandai bekerja.

Itulah sebabnya aku bijak,

makanya memberkahi tenaga ucapan dan itikad.

Syanu yang bertugas menyelesaikan,

Sang Manon itulah yang sangat <> perkasa,

Sang Manon gambaran yang sangat mengetahui,

digambarkan Sang Manon tempat dosa,

pada penglihatan tapi tak terlihat,

bercerita diceritakan.

Akulah yang menghadirkan.

Aku hidup atas kekuasaan Sang Manon.

Dia disebut melahirkan titisan alam gaib.

Ternyata tenggelam saat bebas karena serba dalam,

ternyata kelihatannya itu bersatu tanpa raga.

Begitulah kaitan tentang Jatinistmen "kebenaran sejati",

dalam wujud Jatiniskala "keabadian sejati".

Buktinya adalah wujud mahluk alam gaib,

yang disaksikan oleh semua golongan dewata.

Sedangkan aku itu tak diketahui,

apabila melahirkan titisan pada manusia.

Kenyataannya adalah,

seperti manusia terlihat, oleh orang-orang berwujud manusia. Sedangkan aku samasekali tidak diketahui,

Karena dapat bersembunyi,

sebagai Sang <13a> Hyang Rampes "Yang Maha Sempurna",

sebagai Aci Jatinistmen,

sebagai Aci Prabu Cakrawati,

tidak mengenal diperintah,

oleh asal-mula badaniahnya.

Sejak awal tidak diketahui, oleh wujud manusia.

Yang diperintah adalah badan kasar berupa manusia,

yang dapat dinamai pada manusia.

Itulah yang diperintah Prabu Cakrawati,

bisa diperintah oleh kekuatan nafsu pada manusia,

masih tak ada pengguna yang menyatakan demikian.

Juga pada wiku terlihat jelas, dan pada ratu pun tembus kelihatan, makanya mengatakan begitu.

Seseorang nampaknya saja manusia tapi tidak tahu.

Dikiranya bukan kehidupan manusia, kehidupan jagat raya.

Diibaratkan permainan,

diibaratkan menakut-nakuti,

semakin berlainan dan menipu.

Oleh sebab itulah tak diketahui.

Itu agar jangan mendapat kesempur<13b>naan,

terkena akibat perjodohan,

hingga ke jembatan gantung,

kedapatan jembatan bergoyang-goyang,

berderet berbagi kelompok orang-orang bodoh sebanyak itu.

Seperti inilah aku sebenarnya,

yang tak terasakan Bayu Sabda Hedap.

Janganlah dikatakan ada, yang lebih sempurna daripada aku.

Katanya demikian: "Nah tentu saja berniat mencari,

terbukti begini sempurnanya,

bertekad mendapatkan hal itu,

tetapi aku ialah inti dalam kegaibannya.

Ada lagi pengertiannya,

apalagi inti oleh pemilik inti,

itulah sebabnya akulah kekuasaannya,

maksudnya oleh pemilik kekuasaan."

Aci Jatinistmen berkata:

"Bayu Sabda Hedap,

ternyata akulah yang berkuasa,

dalam hal mengatur telah bersepakat,

di luar perjanjian,

di luar kedewataan,

di luar Bayu Sabda Hedap.

Oleh karena itu Sang Manon,

(adalah) Sang Mahasarira 'berwujud sangat besar'.

Dia dalam halusnya Bayu Sabda Hedap,

itulah sebabnya <14a> menjelma keluar dari ketiadaan.

Dari situ pula perasaan jiwa,

keinginan kekuatan dan ucapan,

nyembur keluar meninggalkan kekosongan,

suara alam gaib.

Sepatah kata terbukti terbukalah rahasia,

perwujudan Siwa membayang,

tidak menyatu dengan Bayu Sabda Hedap,

bersatu dalam pandangan,

bersatu dengan pendengaran."

Kini tuntas sudah mengunjungi Sabda,

mengunjungi Hedap,

mengunjungi Bayu,

mengunjungi yang terdengar,

mengunjungi yang terlihat dalam inti Jatinistemen.

Begitulah artinya Bayu Sabda Hedap,

menyatu dalam kehidupan sejati yang agung,

sifat-sifat keraguan.

Itulah gambaran keyakinan tentang Jatiremsan,

dan ternyata cucu titisan alam gaib,

apalagi sebagai pernyataan dari kesepakatan bulat,

memang dalam perkataan itulah maksudnya.

Semua itu segala penciuman dan omelan,

dengan sendirinya merupakan selingan pelajaran,

makanya ucapan tertahan hanya oleh pengetahuan.

<> Kosong